Seiring perkembangan Islam di Indonesia, ajaran tasawuf tampaknya suatu hal yang tak dapat dipisahkan dari misi Islam untuk membawa manusia menjadi umat yang bertauhid.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring perkembangan Islam di Indonesia, ajaran
tasawuf tampaknya suatu hal yang tak dapat dipisahkan dari misi Islam untuk
membawa manusia menjadi umat yang bertauhid. Hal itu bisa di lihat dari ajaran
para sufi yang mana memberikan pemahaman dan pengajaran mengenai hubungan
dengan Allah dan syari’at-syari’atnya.
Para sufi memandang bahwa segenap hidupnya, dalam
keadaan aktif maupun pasif, lahir dan batin seluruhnya bersumber dari cahaya
kenabian.[1]
Sebagai umat yang beragama hal itu dapat di pahami
dari amalan-amalan yang di bawa para pengembang agama. Dimana dengan
amalan-amalan tersebut dapat menjadikan kita merasa dekat dengan Allah. Karena
pada hakikatnya manusia hidup untuk merasakan kebahagiaan dan ketenangan di
dunia maupun di akhirat.
Sebagai hal baru dalam dunia islam, tasawuf dibagi
menjadi 2 yakni tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Tasawuf sunni dikembangkan
pada abad ke-3 dan ke-4 H yang disusul Al-Ghazali dan para pengikutnya dari
syaikh-syaikh tarekat. Salah satu tokoh tasawuf sunni terkenal di Aceh yakni Nur Al-Din Al-Raniri.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
biografi Nur Al-Din Al-Raniri?
2.
Bagaimana
pemikiran tasawuf Nur Al-Din Al-Raniri?
3.
Bagaimana
corak pemikiran Nur Al-Din Al-Raniri?
4.
Apa
karya-karya Nur Al-Din Al-Raniri?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Nur Al-Din Al-Raniri
Nur Al-Din Al-Raniri adalah salah
seorang murid Sayyid Abd Al-Qadir Al-Idrus, keturunan Arab, bermadzab Syafi’i
dan dilahirkan di Ranir (Rander) India sekitar abad ke-16. Dia menetap di Aceh,
Sumatera selama tujuh tahun sebagai mufti.[2] Nur
Al-Din Al-Raniri adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan
Sultan Iskandar Tsani.
Nama lengkap Nur Al-Din Al-Raniri
adalah Syekh Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniri
al-Quraisyi asy-Syafi’i. Ia seorang sarjana dari India keturunan Arab dari
pihak ayahnya dan bangsa Melayu dari keturunan ibu. Dalam bidang tulis menulis,
dia sangat produktif.
Pendidikan awal diterimanya di
tempat kelahirannya sebelum dia melanjutkan sekolah di Kota “Tiryam”,
Hadramaut, daerah asal Alawiyyin, yang merupakan pusat Islam
tercemerlang di Semenanjung Arab kala itu. Dalam perjalanan pulang dari
Hadramaut menuju India pada 1621 M, dia singgah di Al-Haramain menunaikan
ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah.
Sebagai seorang ulama, Nuruddin
mempunyai sikap yang keras dan tegas dalam menghadapi permasalahan yang
bertentangan dengan keyakinannya. Nur Al-Din Al-Raniri dikenal banyak melakukan
kritik terhadap pemikiran Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin
as-Sumatrani yang beraliran tasawuf falsafi.
Nuruddin juga seorang syekh dalam
tarikat Rifa’iyyah yang didirikan oleh Ahmad Rif’iy.[3]
Sebagai jasa dan kontribusinya dalam pemikiran tasawuf di Indonesia, pemerintah
Indonesia mengabadikan namanya sebagai nama perguruan tinggi Islam pertama di
Aceh, IAIN Ar-Raniri.[4]
Selain itu, pemikiran-pemikirannya berhasil memantapkan pengaruh dan dominasi
Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah di Aceh pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Setelah menetap selama tujuh tahun
di Aceh, Nur Al-Din Al-Raniri pulang ke tanah airnya pada 1644 M. Kepulangannya
secara tiba-tiba barangkali disebabkan oleh rasa kebosanan mengikuti polemik
dan perdebatan di istana menghadapi Syekh Saif Al-Rijal yang beraliran moderat.[5]
Namun, ia meninggalkan karangan-karangan berharga yang ikut memperkaya khazanah
keilmuan di Indonesia.
Menjelang akhir hayatnya dia sempat
mengarang dua buah buku yang belum sempat ia selesaikan yaitu Al-Fath Al-Mubin
ala Al-Mulhidin dan Rahiq Al-Muhammadiyah fi Thariq Al-Shufiyyah. Dia wafat di
Ranir pada 21 September 1658 M.[6]
B.
Pemikiran Tasawufnya
Nur Al-Din Al-Raniri berpendapat
bahwa Tuhan itu Khalik dan alam semesta beserta isinya adalah makhluk. Hubungan
antara keduanya merupakan hubungan sebab akibat. Artinya adanya alam semesta
beserta isinya menunjukkan adanya Allah karena alam semesta beserta isinya
merupakan ciptaan-Nya. Apabila seorang hamba Allah melakukan hubungan
dengan-Nya dan dia dapat merasa bersatu dengan-Nya, maka persatuannya tetap ada
jarak antara keduanya atau dikenal dengan istilah Wachdatusy-Syuhud.
Nur Al-Din Al-Raniri berpendapat
bahwa alam semesta dan seluruh isinya adalah baru karena diciptakan Allah
secara langsung dari yang tidak ada. Penciptaan alam semesta seisinya dari yang
tidak ada, tidak akan menimbulkan akibat perubahan Dzat Allah karena iradah
Allah yang kadim memang menghendaki penciptaan seperti itu.[7]
Sebagian besar karangan Nur Al-Din
Al-Raniri ditujukan membantah faham ‘Wahdatul Wujud’ yang diajarkan oleh Syeikh
Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Nur Al-Din Al-Raniri
dalam ajarannya membedakan antara wujud Allah dan makhluk. Menurut Nur Al-Din
Al-Raniri Allah itu sifatnya transenden (di luar kesanggupan manusia).[8]
Selain itu, Nur Al-Din Al-Raniri berpendapat bahwa hubungan antara syari’at dan
hakikat erat kaitannya satu sama lain. Sehingga menurut pandangannya, umat
islam di ajak untuk memahami ajaran islam yang sesuai akidah islamiyah.[9]
C.
Corak Pemikiran Tasawufnya
Corak pemikiran tasawuf Nur
Al-Din Al-Raniri beraliran tasawuf sunni. Tasawuf
ini dikembangkan para sufi pada abad ke-3 dan ke-4 H dan disusul Al-Ghazali dan
para pengikutnya dari syaikh-syaikh tarekat. Tasawuf sunni mengajarkan wawasan
moral praktis dan bersandarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan penuh disiplin
mengikuti ketentuannya.[10] Tasawuf
ini ingin mengembalikan tasawuf kepada ajaran semula sebagai jalan hidup zuhud,
pendidikan jiwa dan pembentukan moral.
D.
Karya-karyanya
Nur Al-Din Al-Raniri adalah seorang
ulama’ produktif dan berpengetahuan luas dalam berbagai bidang ilmu keislaman.
Karya-karya ilmiahnya meliputi bidang fiqih, hadits, tasawuf, perbandingan
agama dan filsafat. Karya-karyanya banyak yang menentang pendapat-pendapat Syeikh
Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani serta aliran panteisme.
Diantara karya-karya Nur Al-Din
Al-Raniri adalah:
No.
|
Kitab
|
No.
|
Kitab
|
1.
|
As-Sirat al-Mustaqim (jalan lurus)
|
16.
|
Latha’if al-Asrar
|
2.
|
Jawahir Al Ulum fi Kasyfi Al Ma’lum
|
17.
|
Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah
|
3.
|
Al-Fathu al-Mubin Ala al-Mulhidin (kenangan nyata atas kaum yang menyimpang)
|
18.
|
Hill al-Zhill
|
4.
|
Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah
|
19.
|
Ma Al Hayat li Ahl al-Mayyit
|
5.
|
Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah
|
20.
|
Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq
|
6.
|
Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib fi al-Hadits
|
21.
|
Syifa’u’l-Qulub
|
7.
|
Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin (Taman para Sultan tentang riwayat orang-orang dahulu dan
kemudian)
|
22.
|
Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an
|
8.
|
Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi ( tentang dakwaan baying-bayang dengan kawannya)
|
23.
|
Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq
|
9.
|
Aqaid as – Shufiyah al – Muwahhidin ( akidah atau pengalaman kaum sufi yang mentauhidkan Allah ).[11]
|
24.
|
Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh
|
10.
|
At Tibiyan Fi Ma’rifat al Adyan
|
25.
|
Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan
|
11.
|
Hujjah Ash Shiddiq li daf’izzindiq
|
26.
|
Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud
|
12.
|
Asrar al-Insan fi Ma’rifah al-Ruh wa
al-Rahman
|
27.
|
Kaifiyyah al-Shalat
|
13.
|
Syarab Al-Asyiqin (Minuman Para Kekasih)
|
28.
|
‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud
|
14.
|
Al-Muntahi
(Pencapai Puncak)[12]
|
29.
|
Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil
|
15.
|
Asrar Al-Insan Ma’rifat ar-Ruh wa Ar-Rahman (Rahasia
manusia dalam mengetahui Roh dan Tuhan)[13]
|
30.
|
Awdhah al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil[14]
|
BAB III
PENUTUP
Simpulan
o Nur Al-Din Al-Raniri dilahirkan di Ranir (Rander) India sekitar
abad ke-16 dan meninggal dunia kurang lebih pada tahun 1658 M. Nur Al-Din
Al-Raniri adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan
Iskandar Tsani.
o Nur Al-Din Al-Raniri berpendapat bahwa Tuhan itu Khalik dan alam
semesta beserta isinya adalah makhluk. Hubungan antara keduanya merupakan
hubungan sebab akibat. Nur Al-Din Al-Raniri juga berpendapat bahwa alam semesta
dan seluruh isinya adalah baru karena diciptakan Allah secara langsung dari
yang tidak ada.
o Nur Al-Din Al-Raniri dalam ajarannya membedakan antara wujud Allah
dan makhluk. Menurut Nur Al-Din Al-Raniri Allah itu sifatnya transenden (di
luar kesanggupan manusia).
o Nur Al-Din Al-Raniri berpendapat bahwa hubungan antara syari’at dan
hakikat erat kaitannya satu sama lain.
o
Corak pemikiran tasawuf Nur Al-Din
Al-Raniri beraliran tasawuf sunni. Tasawuf
sunni mengajarkan wawasan moral praktis dan bersandarkan kepada Al-Qur’an dan
Sunnah dengan penuh disiplin mengikuti ketentuannya. Tasawuf ini ingin
mengembalikan tasawuf kepada ajaran semula sebagai jalan hidup zuhud,
pendidikan jiwa dan pembentukan moral.
o
Diantara
karya-karya Nur Al-Din Al-Raniri adalah At Tibiyan Fi Ma’rifat al Adyan, Hujjah
Ash Shiddiq li daf’izzindiq, Asrar Al-Arifin (Rahasia Orang yang
Mencapai Pengetahuan Sanubari), Syarab Al-Asyiqin (Minuman Para
Kekasih), dan Al-Muntahi (Pencapai Puncak), dll.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghazali,
Abu Hamid. 1316. Al-Munqidz min Al-Dhalal. Kairo: Dar Al-Ma’arif
Ali,
Yunasril. 1997. Manusia Citra Ilahi. Jakarta: Paramadina
Daudi,
Ahmad. 1983. Allah dan Manusia dalam Konsepsi S.H. Nuruddin Ar-Raniri.
Rajawali
Departemen
Agama. 1993. Ensiklopedia Islam di Indonesia. Jakarta: CV. Anda Utama
Sangidu. 2003. Wachdatul Wujud. Yogyakarta: Gama
Media
Shihab,
Alwi. 2001. Islam Sufistik. Bandung: Mizan Media Utama
[1] Abu Hamid
Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1316), h.
49.
[2] Alwi Shihab, Islam Sufistik, (Bandung:
Mizan Media Utama, 2001), h. 48
[3] Departemen
Agama, Ensiklopedia Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993),
h. 856.
[4] Alwi Shihab, Islam…….., h.48
[5] Ahmad Daudi, Allah
dan Manusia dalam Konsepsi S.H. Nuruddin Ar-Raniri, (Rajawali,1983), h. 46
[6] Alwi Shihab, Islam…….., h.52
[7] Sangidu, Wachdatul
Wujud, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 33-34.
[8] Yunasril Ali, Manusia
Citra Ilahi, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 189
[10] Alwi Shihab,
Islam…….., h.32
[11] Departemen
Agama, Ensiklopedia Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993),
h. 857.
[14] Alwi Shihab,
Islam…….., h.53-54
0 comments:
Post a Comment