Pendidikan Karakter





BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Dampak globalisasi yang terjadi saat ini membawa masyarakat Indonesia melupakan pendidikan karakter bangsa. Padahal, pendidikan karakter merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Pendidikan karakter merupakan upaya untuk membantu perkembangan jiwa anak-anak baik lahir maupun batin, dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban yang manusiawi dan lebih baik. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalanya: anjuran atau suruhan terhadap anak-anak untuk duduk yang baik, tidak berteriak-teriak agar tidak mengganggu orang lain, bersih badan, rapih pakaian, hormat terhadap orang tua, menolong teman dan lain-lainnya merupakan proses pendidikan karakter.
Pendidikan karakter merupakan proses yang berkelanjutan dan tak pernah berakhir, sehingga menghasilkan perbaikan kualitas yang berkesinambungan, yang ditujukan pada terwujudnya sosok manusia masa depan, dan berakar pada nilai-nilai budaya bangsa. Pendidikan karakter harus menumbuhkembangkan nilai-nilai filosofis dan mengamalkan seluruh karakter bangsa secara utuh dan menyeluruh.
Melalui penekan pendidikan karakter di berbagai lembaga pendidikan, baik informal, formal, maupun nonformal diharapkan bangsa Indonesia bisa menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang semakin rumit dan kompleks. Hal ini penting, karena dalam era globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berlangsung begitu pesat, dan tingginya mobilitas manusia karena jarak ruang dan waktu menjadi sangat relative.



  1. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian pendidikan karakter?
2.      Apa tujuan dari pendidikan karakter?
3.      Bagaimana landasan dasar pada pendidikan karakter?
4.      Apa prinsip yang digunakan pada pendidikan karakter?
5.      Bagaimana tahap-tahapan dalam pendidikan karakter?
6.      Apa saja hambatan dalam Pendidikan Karakter?
7.      Bagaimana solusi yang tepat pada pendidikan karakter?
  1. Tujuan
1.      Mengetahui pengertian pendidikan karakter
2.      Mengetahui tujuan dari pendidikan karakter
3.      Mengetahui landasan pada pendidikan karakter
4.      Mengetahui prinsip yang digunakan pada pendidikan karakter
5.      Mengetahui tahap-tahapan dalam pendidikan karakter
6.      Mengetahui hambatan dalam Pendidikan Karakter
7.      Mengetahui solusi yang tepat pada pendidikan karakter




BAB II
PEMBAHASAN
A.   PENGERTIAN PENDIDIKAN KARAKTER
Kata “pendidikan” dalam segi bahasa Yunani dikenal dengan nama paedagogos yang berarti penuntun anak. Dalam bahasa Romawi dikenal dengan educare artinya membawa keluar. Bahasa Belanda menyebut istilah pendidikan dengan nama opvoeden yang berarti membesarkan atau mendewasakan. Dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah educate/education yang berarti to give and intellectual training artinya menanamkan moral dan melatih intelektual.[1]
Berdasarkan dari istilah-istilah dalam berbagai bahasa tersebut kemudian dapat disederhanakan bahwa pendidikan itu merupakan kegiatan yang di dalamnya terdapat: a.Proses pemberian pelayanan untuk menuntun perkembangan peserta didik, b.Proses untuk mengeluarkan atau menumbuhkan potensi yang terpendam dalam diri peserta didik; c. Proses memberikan sesuatu kepada peserta didik sehingga tumbuh menjadi besar, baik fisik maupun non-fisiknya; d. Proses penanaman moral atau proses pembentukan sikap, perilaku, dan melatih kecerdasan intelektual peserta didik.[2]
Pendidikan dalam pengertian umum yaitu proses transmisi pengetahuan  dari satu orang kepada orang lainnya atau dari satu generasi kegenerasi lainnya, dan berlangsung seumur hidup, selama manusia masih di muka bumi maka pendidikan akan terus berlangsung.


Sedangkan karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.[3]
Menurut kamus lengkap bahasa Indonesia[4], karakter didefinisikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan sesorang dengan yang lain. Sementara dalam kamus psikologi[5] karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, biasanya memiliki kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap.
Suyanto dan Masnur Muslich menyatakan bahwa karakter yaitu cara berpikir dan berperilaku seseorang yang menjadi ciri khas dari tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam keluarga, masyarakat, dan Negara.[6]
Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008) karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). [7]
Pendidikan karakter merupakan sebuah istilah yang semakin hari semakin mendapatkan pengakuan dari masyarakat Indonesia saat ini.[8]
Menurut beberapa ahli mengemukakan pendapatnya tentang pengertian pendidikan karakter.
Menurut Ratna Megawati (2004:95), Pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.
Menurut Fakry Gaffar, pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Dalam definisi tersebut terdapat tiga ide pikiran penting yaitu : 1). Proses transformasi nilai-nilai. 2). Ditumbuhkembangkan dalam kepribadian.           3). Menjadi satu dalam pikiran. [9]
Menurut Lickona, pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. [10]
Jadi pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana yang bertujuan untuk menginternalisasikan nilai-nilai moral, akhlak sehingga terwujud dalam implementasi sikap dan perilaku yang baik.

B.   TUJUAN PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan memiliki tujuan yang sangat mulia bagi kehidupan manusia. Berkaitan dengan pentingnya diselenggarakan pendidikan karakter disemua pendidikan formal, presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan sedikitnya ada lima hal dasar yang menjadi tujuan dari perlunya menyelenggarakan pendidikan karakter sebagai berikut :
1.      Membentuk manusia Indonesia yang bermoral.
2.      Membentuk manusia Indonesia yang cerdas dan rasional.
3.      Membentuk manusia Indonesia yang inovatif dan bekerja keras.
4.      Membentuk manusia Indonesia yang optimis dan percaya diri.
5.      Membentuk manusia Indonesia yang berjiwa patriot.[11]
Adapun tujuan pendidikan karakter bangsa adalah (Kemendiknas, 2010:7-9):
1.       Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa
2.       Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3.       Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa
4.       Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan
5.       Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).[12]
Tujuan pendidikan karakter dalam setting sekolah adalah sebagai berikut :
1.      Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian/kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan.
2.      Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah.
3.      Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.[13]
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. [14]
Tujuan pendidikan karakter dapat dicapai jika pendidikan karakter dilakukan secara benar dan menggunakan media yang tepat. Pendidikan karakter dilakukan setidaknya melalui berbagai media diantaranya mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha dan media masa. Hal ini mengandung pengertian bahwa sesungguhnya pendidikan karakter bukan semata-mata tugas sekolah, melainkan tugas dari semua institusi yang ada.
C.   LANDASAN DASAR PADA PENDIDIKAN KARAKTER
1.     Dasar Filosofi
Dasar filosofi akan adanya pendidikan karakter adalah Pancasila. Sebagaimana yang telah diidentifikasi oleh Soedarsono, yakni pancasila harus menjadi dasar negara, pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, jiwa bangsa, tujuan yang akan dicapai, perjanjian luhur bangsa, asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta jati diri bangsa.[15]
Karakter yag berlandaskan falsafah pancasila maknanya adalah setiap aspek karakter harus dijiwai oleh kelima sila pancasila secara utuh dan komprehensif.
a.       Bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa
Bentuk kesadaran dan perilaku iman dan taqwa serta akhlak mulia sebagai karakteristik pribadi bangsa Indonesia.
b.      Bangsa yang menjunjung Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Karakter kemanusiaan tercermin dalam pengakuan atas kesamaan derajat, hak dan kewajiban, saling mengasihi, tenggang rasa, peduli, tidak semena-mena terhadap orang lain, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, berani membela kebenaran dan keadilan.
c.       Bangsa yang mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa
Karakter kebangsaan seseorang tercermin dalam sikap menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa, bangga sebagai bangsa Indonesia yang bertanah air Indonesia serta menjunjung tinggi bahasa Indonesia, cinta tanah air dan negara indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
d.      Bangsa yang Demokratis dan Menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia
Karakter bangsa yang demokratis tercermin dari sikap dan perilakunya yang senantiasa dilandasi nilai dan semangat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, menghargai pendapat orang lain.
e.       Bangsa yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan
Karakter berkeadilan sosial tercermin dalam perbuatan yang menjaga adanya kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan, menjaga harmonisasi antara hak dan kewajiban.
2.      Dasar Hukum
Dasar hukum pendidikan karakter adalah sebagai berikut :
a.          Undang – Undang Dasar 1945
b.         Undang – undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
c.         Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
d.         Permendiknas No 39 tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan
e.          Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
f.          Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
g.         Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional 2010-2014
h.         Renstra Kemendiknas Tahun 2010-2014[16]
D.   PRINSIP PENDIDIKAN BERKARAKTER
Di Indonesia, pendidikan karakter bangsa sebenarnya telah berlangsung lama, jauh sebelum Indonesia merdeka. Ki Hajar Dewantara sebagai Pahlawan Pendidikan Nasional memiliki pandangan tentang pendidikan karakter sebagai asas Taman Siswa 1922, dengan tujuh prinsip sebagai berikut :
1.    Hak seseorang untuk mengatur diri sendiri dengan tujuan terbitnya persatuan dalam kehidupan umum.
2.    Pengajaran berarti mendidik anak agar merdeka batinnya, pikirannya, dan tenaganya.
3.    Pendidikan harus selaras dengan kehidupan.
4.    Kultur sendiri yang selaras dengan kodrat harus dapat memberi kedalaman hidup.
5.    Harus bekerja menurut kekuatan sendiri.
6.    Perlu hidup dengan berdiri sendiri.
7.    Dengan tidak terikat, lahir batin dipersiapkan untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik.[17]
Dalam praktiknya, Lickona dkk (2007) menemukan sebelas prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif. Kesebelas prinsip tersebut sebagai berikut :
1.      Kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik.
2.      Definisikan ‘karakter’ secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan dan perilaku
3.      Gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja dan proaktif dalam pengembangan karakter.
4.      Ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian.
5.      Beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral.
6.      Buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter dan membantu siswa untuk berhasil.
7.      Usahakan mendorong motivasi diri siswa.
8.      Libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa.
9.      Tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter.
10.  Libatkan anggota dan anggota masyarakat sebagi mitra dalam upaya pembangunan karakter.
11.  Evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.[18]
Dalam pendidikan karakter sangat penting dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Selain itu, sekolah harus mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.[19]
E.   Tahap – Tahap Pendidikan Karakter
Menurut Ary Ginanjar Agustian, pembangunan karakter tidaklah cukup hanya dimulai dan diakhiri dengan penetapan misi. Akan tetapi, hal ini perlu dilanjutkan dengan proses yang secara terus-menerus sepanjang hidup.[20] Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter yang baik yaitu, moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral.
Dimensi yang tergolong dalam moral knowing untuk mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing [21]moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian dalam mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge).
Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran terhadap jati diri (consience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap penderitaan orang lain (emphathy), cinta kepada kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil dari dua komponen karakter lainnya.
Menurut M. Furqon Hidayatullah pendidikan karakter dibagi menjadi beberapa tahap yaitu tahap penanaman adab, tahap penanaman tanggung jawab, tahap penanaman kepedulian, tahap penanaman kemandirian, dan tahap penanaman pentingnya bermasyarakat.
1.      Tahap Penanaman Adab (Umur 5-6 Tahun)
Pada tahap ini merupakan fase penanaman kejujuran, pendidikan keimanan (tauhid), menghormati orang tua, teman sebaya, dan orang-orang yang lebih tua, serta diajarkan tentang pentingnya proses, baik dalam belajar maupun mendapatkan sesuatu.
2.      Tahap Penanaman Tanggung Jawab (Umur 7-8 Tahun)
Tanggung jawab merupakan perwujudan dari niat dan tekad untuk melakukan tugas yang diemban.
3.      Tahap Penanaman Kepedulian (Umur 9-10 Tahun)
Kepedulian adalah empati kepada orang lain yang diwujudkan dalam bentuk memberikan pertolongan sesuai dengan kemampuan. Tahap penanaman kepedulian pada masa kecil akan menjadi pondasi kokoh dalam membentuk kemampuan kolaborasi, sinergi, dan kooperasi. Hal ini merupakan langkah awal dalam membangun kesalehan sosial.
4.      Tahap Penanaman Kemandirian (Umur 11-12 Tahun)
Nilai dalam kemandirian adalah tidak menggantung pada orang lain, percaya akan kemampuan diri sendiri, tidak merepotkan dan merugikan orang lain, berusaha mencukupi kebutuhan sendiri dengan semangat bekerja dan mengembangkan diri. Menumbuhkan kemandirian dalam diri anak didik bisa dilakukan dengan melatih mereka bekerja dan menghargai waktu, melatih untuk menabung dan tidak menghabiskan uang seketika.
5.      Tahap Penanaman Pentingnya Bermasyarakat (Umur 13 tahun ke atas)
Pada tahap ini, anak diajari bergaul dan berteman dengan anak-anak yang mempunyai karakter baik, seperti disiplin, menghargai waktu, kreatif, dan mencintai pengetahuan. Anak dilatih untuk selektif dalam mencari teman agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Menurut Solikhin Abu Izzuddin, keterampilan sosial merupakan aset sukses kepemimpinan dan mempengaruhi orang lain (kemampuan menebar pengaruh, berkomunikasi, memimpin, katalisator perubahan, dan mengelola konflik, mendayagunakan jaringan, kolaborasi, kooperasi serta kerja tim).
F.    Hambatan dalam Pendidikan Karakter
Era globalisasi yang sangat pesat dan menggemparkan membawa tantangan serius bagi dunia pendidikan. Globalisasi menyebabkan liberalisme moral, pemikiran dan perilaku yang merontokkan norma dan etika yang selama ini dijunjung tinggi. Desakralisasi moral menjadi realitas yang tidak bisa di hindari. Konservatisme dan liberalisme dijadikan musuh besar oleh globalisme. Inilah yang menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa untuk mengembalikan nilai-nilai tradisional yang relevan dengan dunia modern yang serba instan, liberal, dan sekuler.
Menurut Arvan Pradiansyah, di abad ke 21 ini, ada empat hal yang tidak berubah dan perlu kita cermati.  Pertama,  perubahan itu sendiri. Kedua, hukum alam, seperti gravitasi yang bersifat (universal) dan hukum win-win (sama-sama menang), sebab seseorang tidak ada yang mau mengalami kekalahan. Ketiga, pilihan (choice), misalnya dalam bentuk strategi, taktik, proses bisnis, dan lain sebagainya. Keempat, karakter. Berbeda halnya  dengan kompetisi yang terus-menerus berubah dari waktu ke waktu. Karakter yang dituntut dari setiap orang tidak mengalami perubahan.
Adapun dampak hambatan implementasi pendidikan karakter sebagai berikut:
1.      Pengaruh Negatif Televisi
Televisi sudah menjadi kebutuhan utama keluarga. Anak-anak menjadikan televisi sebagai menu utama kegiatan sehari-hari, apalagi ketika libur sekolah. Akhirnya, pengaruh televisi menghujam kuat pada diri anak didik.
Orang-orang yang mempunyai uang melengkapi fasilitas televisi dengan parabola sehingga bisa mengakses seluruh stasiun televisi luar negeri. Mereka tidak menyadari  bahwa semakin luas jangkauan televisi, semakin berbahaya pula dampaknya bagi anak, karena mereka semakin luas dan bebas jangkauan mereka.
Sebagaimana kita ketahui bersama, program televisi yang bersifat edukatif (mendidik) jumlahnya sangat terbatas. Kebanyakan program yang ditampilkan di televisi adalah rekreatif dan refreshing, yang cenderung menampilkan pornografi dan pornoaksi. Tentu, realitas ini membahayakan terhadap karakter anak-anak. Sebab, secara psikologis, mereka masih dalam tahap imitasi; meniru sesuatu yang dilihat, direkam, dan didengar. Sehingga dengan mudah, mereka menjadikan tontonan sebagai tuntunan.
Mereka lebih percaya terhadap televisi daripada guru, orang tua, dan masyarakat. Ketika jumlah anak semacam ini semakin banyak mereka akan meciptakan lingkungan pergaulan yang kondusif bagi tumbuhnya budaya pop yang ditampilkan di televisi. Ucapan, cara berpakaian, dan sikap yang ditunjukkan akan tercerabut dari akar budaya lokal yang selama ini menjadi pegangan masyarakat.
Menurut Alksman dari Universitas Los Angeles, radiasi yang terpancar dari layar televisi sangat berbahaya bagi organ tubuh manusia. Sinar yang terpancar dari televisi dan alat-alat elektronik rumah tangga termasuk jenis gelombang pendek. Efek pertama yang ditimbulkannya adalah sakit kepala, bila tak terlindungi dari pancaran yang lebih lama. Kemampuan berpikir seseorang pun akan tertekan, tekanan darah pun tidak normal, dan sel darah putih dalam darah akan mengalami kerusakan. Gelombang-gelombang ini akan membawa pengaruh yang kuat bagi saraf dan mengakibatkan keluhan rasa sakit.[22]
2.      Pergaulan Bebas
Sekarang ini, pergaulan remaja sangat mengkhawatirkan. Mereka berkumpul “kongko-kongko” untuk beraktualisasi dan menemukan satu hati dalam  berekspresi. Dalam ilmu psikologi sosial,  ketika seseorang berkumpul bersama yang lain, eksperesi yang ditampilkan tidak mesti mencerminkan sesuatu yang ada dalam batinnya.
Perilaku kelompok sangat cepat menyebar dengan gerakan refleks. Mereka merespons stimulus dengan cepat dan massif. Tanpa mempertimbangkan resiko yang akan terjadi. Perilaku sosial yang sulit dicegah membutuhkan kekuatan otoritatif, seperti aparat kepolisian dan sejenisnya.
Di sinilah, kaum agamawan dan aktivis berperan untuk merancang program besar dalam menciptakan lingkungan sosial, khususnya pergaulan bebas yang islami; bernilai pengetahuan, moral, spiritual, dan berdimensi sosial budaya yang bermanfaat bagi perkembangan karakter, kepribadian, dan cita-citanya di masa depan. Lingkungan semacam ini membutuhkan rekayasa sosial (social engineering) yang canggih, aplikatif, dan efektif.[23]
3.      Internet
Internet saat ini menjadi kebutuhan utama para kaum profesional. Kaum pelajar tidak mau ketinggalan memanfaatkan teknologi super canggih tersebut. Dengan internet, seseorang bisa mengakses seluruh informasi yang ada di dunia. Dengan menguasai bahasa asing, seseorang akan  melihat dunia tanpa batas.
Konsumerisme membutakan mata para praktisi bisnis internet untuk terus memproduksi hal porno karena keuntungan yang diraih melenakan dan menggiurkan semua pihak. Sulit bagi kita sekarang untuk menutup internet. Sebab, internet sudah menjadi kecenderungan global dan kebutuhan utama di berbagai instansi pemerintah, lembaga pendidikan, perusahaan nasional dan internasional, serta di berbagai lembaga swasta lainnya.
Maka, jalan terbaik adalah membekali pemahaman holistik dan komprehensif kepada anak didik untuk selektif dalam membuka situs dan menekan pihak internet untuk menutup situs porno yang merusak moralitas generasi masa depan bangsa. Lembaga pendidikan yang memanfaatkan teknologi internet, khususnya yang sudah menyediakan layanan hot spot area untuk menutup situs porno dan menyiapakan berbagai situs pendidikan dalam dan luar negeri yang bermanfaat untuk memperluas horizon pemikiran dan mencerahkan wawasan ke depan.[24]
4.    Tempat Karaoke
Karaoke adalah fenomena dunia modern. Tempat karaoke didesain untuk menjadi tempat istirahat kalangan profesional. Menu yang disedikan adalah café, yang berisi minuman, serta dipandu oleh wanita-wanita cantik yang terlatih dan menarik. Di café ini, disediakan berbagai macam fasilitas, salah satunya adalah nyanyian yang menampilkan artis dengan pakaian seksi yang aduhai dan menggiurkan laki-laki.
Menurut wawancara Jamal dengan berbagai kalangan, “tempat karaoke itu terdiri atas tingkat dan level yang akan diburu oleh penikmatnya.”
Tetapi, bagi pengamat dan pemerhati modernitas, hal ini dianggap wajar. Liberalisasi seksual menjadi salah satu indikatornya. Untuk melakukan gerakan preventif dalam rangka membendung dampak negatif karaoke ini, yang paling berperan dan ditunggu-tunggu masyarakat adalah pemerintah. Beranikah pemerintah menutup tempat karaoke yang menghancurkan moralitas generasi muda? Benarkah sinyalemen bahwa tempat karaoke selalu menyumbang pajak besar dan memiliki “pelindung” dibalik layar yang menjamin keamanan dan eksistensinya?[25]
5.    Tempat Wisata
Tempat-tempat pariwisata, khususnya pantai, banyak menjadi pilihan manusia dalam melewatkan hari istirahat atau kepenatan kerja mereka.
Turis asing biasanya berpakaian seksi dengan aura seksual dan kental. Mereka memperlihatkan kepada bangsa ini bahwa kebebasan seksual adalah kenikmatan dunia yang harus dirasakan. Mereka menjadikan kehidupan dunia laksana surga dengan memperturutkan segala keinginan. Agama,  bagi mereka, merupakan urusan privat yang tidak boleh mangatur kehidupan sosial yang liberal, hedonis, dan konsumeris.
Inilah yang menyerang mentalias remaja kita sehingga virus liberalitas seksual menghinggapi mereka. Sebagaian dari mereka berubah orientasi dan visinya dalam menjalani hidup dan membangun cita-citanya.
Jalan terbaik adalah mendesain tempat wisata yang islami, yang tetap menghargai nilai etika dan moral yang bersumber pada agama dan budaya luhur bangsa. Ini membutuhkan miliuner muslim yang peduli pada pembumian nilai-nilai Islam dalam konteks dunia modern yang serba bebas.
Jamal pernah membaca Koran bahwa sekarang ini ada hotel islam, dimana hanya pasangan suami istri dengan bukti cukup yang bisa masuk. Tanpa ada keterangan, laki-laki dan perempuan tidak boleh masuk. Ini adalah solusi religius ditengah modernitas peradaban yang serba liberal. Hal seperti ini yang harus diperbanyak. Yakni menikmati modernitas tanpa kehilangan tradisi religioitas dan tradisionalitas. Keduanya tidak dipertentangkan,  tapi dipadukan dalam satu orkestra peradaban agung yang rasional, agamis, progresif, dan sakral. Tempat-tempat wisata religius harus diperbanyak untuk mengakomodir pesan-pesan agama dalam ruang publik yang selama ini dikuasai kaum kapitalis liberal yang tidak mengindahkan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa.[26]

G.  Solusi yang tepat pada pendidikan karakter
1.      Menyeleksi program-program televisi yang edukatif dan senantiasa mengawasi anak dalam menonton tayangan televisi. Jadi peran orang tua sangat besar dalam hal ini. Pemerintah harus membuat dan menerapkan regulasi untuk menyeleksi tayangan televisi. Jika ada pihak yang melanggar maka harus di beri sanksi tegas. Monitoring dari pemerintah menjaga generasi masa depan.
2.    Kaum agamawan dan aktivis berperan untuk merancang program besar dalam menciptakan lingkungan sosial, khususnya pergaulan bebas yang islami; bernilai pengetahuan, moral, spiritual, dan berdimensi sosial budaya yang bermanfaat bagi perkembangan karakter, kepribadian, dan cita-citanya di masa depan.
3.    Membekali pemahaman holistik dan komprehensif kepada anak didik untuk selektif dalam membuka situs dan menekan pihak internet untuk menutup situs porno yang merusak moralitas generasi masa depan bangsa. Lembaga pendidikan yang memanfaatkan teknologi internet, khususnya yang sudah menyediakan layanan hot spot area untuk menutup situs porno dan menyiapakan berbagai situs pendidikan dalam dan luar negeri yang bermanfaat untuk memperluas horizon pemikiran dan mencerahkan wawasan ke depan.
4.    Untuk melakukan gerakan preventif dalam rangka membendung dampak negatif karaoke ini, yang paling berperan dan ditunggu-tunggu masyarakat adalah pemerintah. Beranikah pemerintah menutup tempat karaoke yang menghancurkan moralitas generasi muda?
5.    Mendesain tempat wisata yang islami, yang tetap menghargai nilai etika dan moral yang bersumber pada agama dan budaya luhur bangsa.
6.    Pendidikan karakter harus terus digalakkan disekolah, rumah,, masyarakat, didunia usaha, dan lain sebagainya, sembari menunggu aksi pemerintah dalam menjaga moralitas, mentalitas dan jiwa anak bangsa.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan


















DAFTAR PUSTAKA
Aunillah,Nurla Isna. 2011. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah, Jogjakarta : LaksanA
Gulo, Dali. 1982. Kamus Psikologi. Bandung: Tonis
Jamal Ma’mur Asmani, Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jakarta: Diva Press, 2012)
Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika
Kesuma,Dharma. 2013. Pendidikan Karakter. Bandung: Rosida
Muhadjir, Noeng. 1993. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial;Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta : Rake Sarasin
Mulyasa. 2001. Manajemen Pendidikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara
Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara
Samani, Muchlas. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Yasin, Fatah. 2008. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN-Malang Press
http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/04/tujuan-pendidikan-karakter-bangsa.html
http://www.majalahpendidikan.com/2011/05/artikel-pendidikan-konsep-pendidikan.html


[1] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial;Suatu Teori Pendidikan, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1993), 15.
[2] Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 16.
[3] Lihat : http://www.majalahpendidikan.com/2011/05/artikel-pendidikan-konsep-pendidikan.html (23April 2013)
[4] Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kartika, 1997), 281.
[5] Dali Gulo, Kamus Psikologi, (Bandung: Tonis, 1982), 29.
[6] Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 70.
[7]Lihat :  http://www.majalahpendidikan.com/2011/05/artikel-pendidikan-konsep-pendidikan.html (23April 2013)
[8] Dharma Kesuma, Pendidikan Karakter, (Bandung: Rosida, 2013), 4.
[9] Dharma Kesuma, Pendidikan Karakter, (Bandung: Rosida, 2013), 5.
[11] Nurla Isna Aunillah, Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta : Laksana, 2011), 97-104
[12] Lihat : http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/04/tujuan-pendidikan-karakter-bangsa.html (23April 2013)
[13] Dharma Kesuma, Pendidikan Karakter, (Bandung: Rosida, 2013), 9.
[14] Mulyasa, Manajemen Pendidikan, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2001), 9.
[15] Muchlas Samani, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 21
[16] Jamal Ma’mur Asmani, buku paduan internalisasi pendidikan karakter di sekolah, (jogjakarta: Diva Press, 2012), 41-42
[17] Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara,2012), 6.
[18] Masnur Muslich, Pendidikan Karakter (Jakarta: Bumi Aksara,2011), 129.
[19]Masnur Muslich, Pendidikan Karakter ………………….. 129-130.
[20] Jamal Ma’mur Asmani, buku paduan..., 85
[21] Jamal Ma’mur Asmani, buku paduan..., 89-95
[22] Jamal Ma’mur Asmani, Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jakarta: Diva Press, 2012), 99-101.

[23] Jamal Ma’mur Asmani, Internalisasi Pendidikan…,h.103-104
[24] Jamal Ma’mur Asmani, Internalisasi Pendidikan…,h.104-106
[25] Jamal Ma’mur Asmani, Internalisasi Pendidikan…,h.106-108
[26] Jamal Ma’mur Asmani, Internalisasi Pendidikan…,108-110.

0 comments:



Post a Comment